Ada yang
berbeda dari Ramadhan tahun ini. Bila biasanya Ramadhan dengan keluarga di
Blora, kali ini hampir sebulan saya habiskan hari-hari Ramadhan di Jogja, lebih
tepatnya di pondok pesantren Al Barokah tempat saya berteduh dan menimba ilmu
agama. Memang Ramadhan ini di pondok saya semakin padat kegiatannya. Mulai dari
ngaji kitab, ngaji qur’an, tarawih, tadarrus, hingga beberapa perlombaan yang diselenggarakan
panitia Ramadhan pondok.
Kebetulan
untuk tahun ini saya pribadi juga diminta membantu kepanitiaan yakni di bagian
keamanan. Tugasnya sebenarnya simpel, hanya ‘ngoprak-oprak’(mengingatkan)
santri lain untuk segera mengikuti berbagai kegiatan pondok. Mulai dari
membangunkan sahur, mengingatkan Shubuh berjamaah, mengingatkan ngaji, tarawih,
dan kegiatan-kegiatan Ramadhan lain yang sudah disiapkan panitia acara. Dengan
tugas lainnya membuat jadwal piket lebaran.
Intinya saya harus
memastikan santri mengikuti rangkaian kegiatan Ramadhan tepat pada waktunya. Di
sini yang menjadi tanggung jawab saya hanya teman-teman sekomplek, yakni
komplek Al-Fatih, sementara untuk komplek lain sudah ada penanggungjawab
keamanannya masing-masing. Karena berjalannya ketika sudah mulai acara, di
awal-awal rapat tidak ada kesulitan, tidak seperti bagian acara yang harus
mengkonsep detail acara, atau humas yang harus mengurus perizinan dan
menghubungi jamaah terkait ta’jil dan sejenisnya, kita tenang-tenang saja tak
ada persiapan berarti karena memang tak membutuhkan persiapan.
Awalnya saya
kira tugasnya akan ringan-ringan saja, karena memang tak serumit panitia lain
seperti yang dari acara, humas, atau konsumsi, sangat simpel dan jelas tugas
yang harus kami lakukan. Namun ternyata setelah dijalani, tak semudah yang dibayangkan.
Butuh kesabaran ekstra untuk konsisten keliling ke kamar-kamar di komplek kami dan
mengingatkan penghuni-penghuninya untuk mengikuti kegiatan-kegiatan pondok.
Bagaimana tidak setiap hari harus keliling membangunkan sahur, shubuh, ngaji
sore, ngaji ba’da maghrib, tarawih.
Untuk sehari
saja paling tidak lima kali kami harus keliling mengingatkan teman-teman
santri. Padahal tak hanya sehari, setiap hari sejak awal Ramadhan sampai akhir
kami harus berulang-ulang mengerjakan tugas ini. Tentunya membutuhkan kesabaran
lebih, dan tidak boleh bosan-bosan mengingatkan karena itulah yang sudah
menjadi tugas keamanan.
Mungkin akan
sedikit mudah bila yang diingatkan tanggap
dan langsung berangkat ketika kita ingatkan namun masalahnya tidak semua santri bisa demikian.
Pada kenyataannya kita harus menghadapi watak santri yang berbeda-beda. Ada
yang ketika diingatkan langsung tanggap, tapi kebanyakan tidak menghiraukan,
dan tak mau langsung bergerak mengikuti kegiatan pondok. Meski sudah diingatkan
tetap saja bermalas-malasan tak mengindahkan ajakan kami, inilah yang terkadang
membuat capek, apalagi setiap hari harus berhadapan dengan hal demikian.
Ketika kita
coba memberi contoh dengan hadir lebih awal dikatakannya “Keamanan kok datang
duluan? harusnya belakangan datangnya ingatkan teman-teman dulu baru berangkat!”.
Ketika kita coba mengingatkan dengan lembut malah tak dihiraukan, dikatakannya “Kalau
mengingatkan yang tegas donk! Kalau lembek gitu nggak akan dihiraukan”. Ketika
kita coba untuk lebih tegas, hingga kadang memukul santri dengan sajadah malah
dimarahi dan dikatakannya “Kalau mengingatkan yang sopan, tak perlu
keras-keras!”. Lalu sebagian mencoba bijak menasihati “satu tauladan lebih baik
dari seribu ucapan, daripada mengingatkan terus seperti itu lebih baik kamu
beri contoh berangkat duluan!” Padahal sebelumnya sudah mencoba demikian dan
hasilnya pun nihil.
Selalu
berputar-putar seperti itu, semua yang kita kerjakan seakan tidak ada benarnya.
Kalau mencoba memberi contoh, berangkat duluan dikatakan melalaikan tugas.
Kalau mengingatkan secara lembut, dikatakan tak tegas. Kalau mengingatkan
dengan tegas dikatakan tak sopan malah dikatakan lebih baik memberi contoh baik
daripada mengingatkan terus. Tidak ada benarnya, semuanya terlihat salah dalam
pandangan mereka.
Pada akhirnya
saya pun belajar. Memang demikianlah karakteristik manusia ketika diajak atau
diingatkan pada kebaikan. Tidak semuanya akan sanggup menerima dengan baik.
Meskipun telah kita gunakan metode terbaik, akan selalu saja alasan untuk
mengorek-ngorek cela kita. Dan pada akhirnya bila menuruti perkataan manusia
tidak ada yang cukup benar untuk dilakukan.
Tugas kita
sebenarnya hanyalah mengingatkan, dan terus mengingatkan. Adanya penolakan
sudah menjadi hal yang wajar, dan jangan dijadikan alasan untuk berhenti
mengingatkan. Tidak usah pedulikan komentar mereka, yang penting kita sudah
mencoba mengingatkan dan menggugurkan kewajiban. Adapun mengenai hasil biar
Allah yang menentukan, karena bukan hak kita pula memberi hidayah pada orang
yang kita kehendaki.
Adanya
penolakan hendaknya jangan terlalu dijadikan beban pikiran, susah sendiri
jadinya. Tetap tenang dan terus mengingatkan, insya Allah dengan keistiqomahan
kita itulah lama-kelamaan hati mereka bisa luluh dan beralih mengindahkan
peringatan. Tugas kita hanya mencoba semaksimal mungkin untuk mengingatkan,
jangan karena ada penolakan kita jadi futur dan merasa usaha kita tak ada
gunanya. Sedikit banyak pasti berguna, entah sekarang atau nanti kita jangan
tergesa-gesa mengharapkan hasilnya, sekali lagi fokus pada tugas bukan hasil.
Asal tugas
sudah kita kerjakan dengan baik, maka sisanya tinggal tawakkal. Dan jangan lupa
juga tetap didoakan, karena doa adalah senjata seorang mukmin. Setelah mencoba
istiqomah, pada akhirnya terbukti beberapa anak ada yang mulai simpati bahkan
akhirnya membantu kami untuk mengingatkan santri-santri lainnya. Inilah buah
dari kesabaran itu, dengan terus bersabar ketika menghadapi berbagai gangguan
dalam mengingatkan lama-kelamaan orang yang melihat kita akan bersimpati dan
beralih mendukung usaha kita.
Apa yang kita
lakukan ini tentu belum ada apa-apanya dibandingkan perjuangan Rasulullah dalam
mendakwahkan islam pada ummatnya. Bahkan ia harus bersabar dalam mendakwahi
mereka yang jelas-jelas masih dalam kekafirannya. Tak sekedar penolakan, bahkan
sampai cemoohan, teror fisik, hingga upaya-upaya pembunuhan pun telah beliau
alami. Namun semua itu tak membuatnya sedikit pun berkeinginan untuk berhenti
berdakwah. Bahkan ketika ditawari harta, tahta dan wanita untuk menghentikan dakwahnya
pun ditolaknya.
“Wahai paman,
meski pun mereka meletakkan matahari di kananku dan bulan di kiriku agar aku
berhenti dari da’wah ini, pastilah tidak akan kulakukan. Hingga nanti Allah Subhana Wa Ta’ala menangkan da’wah ini
atau aku mati karenanya”, sabda beliau Shalallahu
‘alaihi wa sallam. Alangkah malunya diri ini bila melihat perjuangan beliau
Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Malu
sekali bila baru mengingatkan sedikit kita sudah mundur karena mendapat
penolakan. Malu bila berhenti mengingatkan hanya karena tak mendapatkan jawaban
dari seruan.
Alhamdulillah,
saya belajar banyak Ramadhan ini. Mulai sekarang tak perlu risau lagi ketika
mendapat penolakan saat mengingatkan dan mengajak pada suatu kebaikan. Karena
memang dakwah tidaklah cukup sekali dua kali mengingatkan namun sebuah proses
panjang untuk mengubah dan memperbaiki pribadi individu-individunya. Ketika ditolak
pun jangan pernah menganggap kita telah gagal sepenuhnya, dan telah sia-sia
upaya kita karena barangkali dengannya suatu hari nanti hatinya akan luluh dan
beralih mengerjakan kebaikan yang kita serukan.
Batu yang keras pun bisa retak dengan
tetesan-tetesan air yang berulang-ulang, seperti itu pula hati yang keras,
dengan sedikit demi sedikit peringatan barangkali bisa berubah. Toh kalau pun
pada akhirnya tak berubah, setidaknya Allah telah mencatat amal kita dan telah
gugurlah kewajiban kita. Mudah-mudahan Allah anugerahkan kepada kita hidayah-Nya
hingga senantiasa tergerak untuk melakukan perbaikan. Wallohua’lam bishshowwab ^^
“Sungguh telah datang kepadamu seorang rasul
dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia)
sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang
terhadap orang-orang yang beriman.”
“Maka jika mereka berpaling (dari keimanan),
maka katakanlah (Muhammad), ‘Cukuplah Allah bagiku; tidak ada tuhan selain Dia.
Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy
(singgasana) yang agung.”
Sigit
Arif Anggoro