by: Sigit(farohis '12)
Pernah liat pedagang musiman? Saat
musim rambutan dia jualan rambutan. Saat bulan puasa ganti jualan kurma. Saat
musimnya lebaran ganti lagi jadi penjual petasan. Jadi mirip bunglon ya? bisa
berganti-ganti profesi sesuai tuntutan zaman :D
Memang mungkin bisa dapat
keuntungan cukup banyak. Namun bagi orang China (yang katanya mahir dagang)
bisnis seperti ini tidak akan berkembang. Lebih baik bisnis kecil-kecilan tapi
konsisten ketimbang harus berganti-ganti seperti pedagang musiman. Kenapa? Karena
bisnis yang kecil masih memungkinkan untuk terus berkembang menjadi besar (naik
level), sedangkan bisnis musiman bagaimana hendak berkembang bila tiap waktu
ganti ‘muka’, otomatis tak punya ‘produk’ yang akan menjadi keunggulannya.
Yang kita bicarakan disini tak
jauh berbeda dengan pembahasan pedagang musiman seperti di atas. Tak hanya
pedagang, fenomena mukmin musiman pun akhir-akhir ini sering kita temui di
kehidupan sekitar kita. Banyak yang sering bermuka dua ketika hidup di
masyarakat. Kadang menampilkan sosok agamisnya, namun di lain kesempatan justru
berbalik menyerangnya, yah sesuai tuntutan zaman seperti si pedagang musiman.
Walhasil, tak jarang kita temukan
ketika bulan Ramadhan banyak artis yang turut berpenampilan islami,
sampai-sampai membuatkan lagu religi. Namun di bulan-bulan lain kembali membuat
lagu-lagu yang justru bertentangan dengan nilai-nilai islami, seakan-akan lagu
religi sekedar sebagai dagangan musiman baginya. Tak jarang kita lihat aktivis
muslim di parpol tertentu ketika datang hari raya idul fitri berbondong-bondong
mengucapkan selamat, namun anehnya ketika datang hari raya agama lain pun
dengan entengnya memberikan ucapan ‘selamat’ dengan dalih toleransi.
Tak jarang pula kita temukan
pemuda yang menjalankan sholat lima waktu (masih mending menjalankan), namun
ternyata berbuat curang saat ujian (mencontek, dll). Terkadang pula kita
temukan akhwat yang sudah berjilbab namun masih saja ‘doyan’ pacaran. Bagi
orang-orang liberal fenomena-fenomena seperti ini justru dijadikan amunisi
untuk menyerang dan menjelekkan syariat Allah. Tidak benar pula, ketika yang
salah manusianya namun yang disalah-salahkan malah syariatNya.
Allah telah menetapkan syariat
sebaik-baiknya, namun kitanya saja yang masih belum memahaminya. Untuk itu penting
sekali untuk menjalankan ayat yang satu ini “Masuklah
kedalam Islam secara menyeluruh” (Al
Baqarah 208)
Ya, secara menyeluruh. Tidak
setengah-setengah, tidak berubah-ubah. Seorang muslim harus teguh pada
pendiriannya, harus teguh pada prinsip yang telah diimaninya. Seberat apapun
resikonya, harus tetap konsisten pada
jalan kebenaran. Budaya sekulerisme, yakni pemisahan masalah agama dan dunia
bukanlah dari islam dan tidak pernah sesuai dengan nilai-nilai islam yang
luhur.
Jadi muslim tidak hanya ketika di
masjid saja. Ketika jadi seorang pedagang ia tetaplah seorang muslim yang harus
berdagang sesuai aturanNya. Ketika menjadi guru ia pun tetap menunjukkan
identitas kemuslimannya. Pun ketika menjadi pejabat juga harus tetap jadi
seorang muslim yang terus berusaha menerapkan setiap syariatNya. “Isyhaduu bianna muslimun”(persaksikanlah
bahwa saya seorang muslim).
Masih ingat dengan kisah Bilal
yang tetap teguh mengucap “Ahad, ahad, ahad” disaat ditimpa dengan batu dan
diajak untuk mengkufuri agama Allah? Ingat ketika Nabi ditawari kafir quraisy
untuk menghentikan dakwahnya lalu ditolak dengan tegas, walau diletakkan
matahari di tangan kanan dan rembulan di tangan kirinya niscaya ia tidak akan
menghentikan dakwahnya! Setinggi apapun jabatannya tetap bila dalam sholat
berjamaah ia harus mengikuti imamnya. Sebesar apapun popularitasnya tetap ia
punya kewajiban berbakti pada kedua orangtuanya.
Bagi seorang muslim sejati, agama
ini, keimanan ini, lebih berharga dari apapun. Bahkan lebih berharga dari harta
dan jiwanya sendiri. Hingga tidak sepantasnya ia menukar ketaatan padaNya
dengan segala kenikmatan dunia. Semoga kita semua dijaga untuk tetap istiqamah
dalam ketaatan padaNya. Aamiin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar