Total Tayangan Halaman

Rabu, 28 November 2012

Berawal dari Rohis


Berawal dari Rohis
Bismillah..
Rohis?? Apa yang terbersit di benak anda ketika saya sampaikan kata yang satu ini? Kumpulan anak muda yang ‘nongkrong’nya di masjid? Kumpulan muslimah yang jilbabnya gedhe-gedhe? Atau bahkan sarang teroris seperti yang diberitakan suatu media belakangan ini? ^^
Apapun yang ada dalam benak anda, bagi saya pribadi Rohis jauh lebih baik dari semua itu. Yah, mungkin memang bukan segala-galanya. Tanpa rohis kita masih bisa hidup bukan? Tanpa rohis masih bisa bernafas, benar? Ya, Rohis memang bukan segala-galanya, namun dari sinilah segalanya berawal. Tak percaya? Simak baik-baik cerita saya!! J

Yang saya rasakan, semenjak bergabung dengan Rohis inilah terjadi titik balik dalam hidup saya. Titik balik yang mengubah segalanya, mirip2 ledakan Big Bang kali ya? :D. Dari sinilah semua berawal, dari sinilah saya berubah. Bukan perubahan biasa, namun hampir di seluruh bidang, mungkin bisa dibilang revolusi besar-besaran atau “hijrah” bahasa kerennya.
Hijrah kemana? Yang pasti bukan ke London ya ^^

Hijrah, dari kebodohan menuju terangnya ilmu. Hijrah, dari kelamnya maksiyat menuju manisnya ta’at. Hijrah, dari galaunya hidup menuju ketentraman hati yang luar biasa. Hijrah dari masa jahiliah menuju masa-masa kemenangan.

Semua berubah, dari yang sering maksiyat, menjadi benar-benar bertaubat. Apalagi saat jadi pengurus, malu kan bila maksiyat masih ‘dipelihara’? Dari yang tak kenal dhuha, jadi istiqomah dhuha (mudah2an bukan riya’). Dari yang tak pernah ke masjid, jadi rajin berjamaah didalamnya. Dari yang tak ada niat menghafal qur’an, kini sedikit demi sedikit mulai menghafalkan.

Dan bukan hanya dari segi ibadah tentunya. Dari rohis saya juga belajar kepemimpinan. Pertama kalinya jadi ketua panitia, yang saya bersyukur karena setelahnya mulai terasa banyak perubahannya. Dari yang semula pendiam jadi berani bicara. Dari yang semula kuper jadi banyak temannya. Dari yang semula hidup tak tahu arah, kini jadi punya tujuan yang jelas (beribadah kepadaNya dan meraih keridlhoanNya).

Banyak sekali yang sekarang terasa manfaatnya. Dari video motivasi yang dulu diputar di acara rohis, kini baru benar-benar saya terapkan. Dan Alhamdulillah, mulai terasa dampaknya. Hidup jadi lebih teratur, dan jelas mau dibawa kemana. Dan yang paling penting yang saya rasakan adalah bisa jadi pemuda yang punya prinsip, punya pendirian, idealis, tak sekedar ikut-ikutan.

Dengan segudang modal di atas, tidak ada lagi rasa takut untuk bergaul dengan teman-teman baru. Tak perlu takut dianggap nggak eksis, karena memang bukan itu yang jadi tujuan. Tak perlu takut tampil beda, asal hidup sesuai tuntunan (Qur’an Sunnah). Tak perlu takut akan kegagalan, karena tahu susah senang hanyalah ujian kehidupan. Tak perlu resah, karena tahu ada Alloh Yang milik-Nya lah segala yang di langit dan di bumi ini.

Anak rohis memang luar biasa ‘aneh’nya ya. Disaat remaja lain pada tawuran, mereka asyik baca Qur’an. Disaat yang lain sibuk pacaran, mereka malah menjaga pandangan (Aamiin). Disaat yang lain mencontek di ujian, mereka pede dan mengutamakan kejujuran (Aamiin). Disaat yang lain tampil buka-bukaan (aurot), mereka tampil sesuai tuntunan. Disaat pemuda lain menjadi ancaman, mereka terus memberi harapan.
Aneh sekali bukan? Saking anehnya sampai dikatakan sarang TERORIS!! ^^ Ya, kita memang TERORIS, Tentara Orang Islam (kata ketua BEM saya).

Tidakkah mereka lihat kondisi pemuda di zaman ini? Yang sudah sangat kebablasan dalam pergaulannya? Salahkah bila diantaranya ada yang berbeda dan terus memperjuangkan perbaikan umat ini? Wahai, tidak sadarkah bila yang dituduh teroris justru pemuda-pemudi yang masih bisa diharapkan dari negeri ini? Pemuda yang jadi agent of change, agen perubahan yang terus mengisi harinya untuk memperbaiki diri, sekitar, agama dan bangsanya?

“Fatuubaa lil ghurabaa” Maka berbahagialah bagi orang-orang asing, yakni yang senantiasa membuat perbaikan disaat yang lain berbuat kerusakan. Apakah antum/antunna termasuk diantaranya?? Semoga saja.. Wallohua’lam bisshowwab.
Sigit Arif Anggoro
Teknik Fisika 2012

Jumat, 16 November 2012

بِسْمِ اللهِالرَّحْمَنِ اارََّحِيم
Konsep Diri Muslim*
by: Nursita Galih(farohis '12)
A. Hakikat Din
Perkataan din berasal dari akar kata DYN dalam bahasa Arab yang memiliki banyak permaknaan yang walaupun sepertinya bertentangan satu sama lain, namun sebenarnya memiliki hubungan secara konseptual, maka keseluruhan makna tersebut membentuk suatu kesatuan makna yang tidak terpisahkan.
Makna-makna utma dalam kata din disimpulkan menjadi 4:

1: Keadaan Berhutang
Kata kerja dana yang berasal dari kata din memberi makna keadaan berhutang , termasuk makna makna lain yang berkaitan dengan hutang,yang sebagiannya bertolak belakang. Pada keadaan seseorang berhutang , dengan kata lain seorang da’in, ia semestinya menundukkan dirinya , yaitu berada dalam keadaan berserah dan taat kepada hukum dan aturan dalam berhutang, dan dalam keadaan tertentu juga terhadap pemberi hutang yang juga dipanggil sebagai da’in. Dalam pengertian ini juga ia membawa maksud seseorang yang dalam keadaan berhutang berarti mempunyai suatu kewajiban atau dayn. yang secara tabiinya berkaitan dengan sutu penghakiman atau daynunah dan pemberian hukuman atau idanah mengikuti keadaan tertentu

Bagaimana konsep keberhutangan atau dalam keadaan berhutang dapat dijelaskan dalam konteks spiritual dan keagamaan? lalu apa yang dimaksud dengan hutang itu? Kepada siapa kita berhutang?
Seseorang yang merenung dengan penuh kesungguhan tentang asal muasal dirinya, akan menyadari bahwa beberapa dekade yang lalu ia tidak wujud . dan keseluruhan manusia yang saat ini ada dahulu tidak wujud pada saat ini. Lalu secara alami seorang yang merenung hal ini secara jujur dari intuisinya dapat mengetahui bahwa dalam keadaanya yang telah dewasa dan sempurna ia tidak dapat menciptakan untuk dirinya sendiri panca indera apalgi membiarkan dirinya bergerak sendiri dengan kesadaran untuk membesar dan berkembang dari embrio yang ta berdaya hingga dewasa. Maka ada suatu ZAT yang padanya manusia berhutang akan eksistensinya yaitu Allah Ta’ala.

Hakikat keadaan berhutang akan kejadian dan eksistensi diri yang sedemikian luar biasa pengaruhnya bagi manusia tersebut, menjadikan seorang manusia setelah tercipta berada dalam kerugian yang sangat karena ia tidak memiliki suatu apapun, dan menyadari bahwa segala sesuatu tentang dirinya , apa yang ada pada dirinyadan darinya sesungguhnya dimiliki oleh Sang Pencipta Yang Memiliki segala sesuatu yaitu Allah Ta’ala.
إِىَّ الإِ سًَْاىَ لَفِي خُسْز ٍ
“Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam keadaan merugi.”(QS. Al ‘Ashr)

Lafazh al insan pada ayat di atas secara kaidah tata bahasa Arab mencakup keumuman manusia tanpa terkecuali. Allah ? tidak memandang agama, jenis kelamin, status, martabat, dan jabatan. Maka dengan menyadari dirinya secara mutlak tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar hutangnya, kecuali kesadaran dirinya akan kenyataan bahwa intipati keadaan berhutang itu terletak pada kewujudan dirinya sendiri, sehingga ia harus membayar dengan dirinya sendri secara mutlak. Jadi ia sendiri adalah hutang yang harus dikembalikan kepada Pemilik dan “mengembalikkan hutang“ bermakna menjadikan dirinya dalam keadaan berkhidmat ,atau menghambakan diri kepada TUHANnya. Dan dalam merendahkan dirinya di hadapan-NYA maka seorang manusia yang terbimbing dengan benar seara tulus dan sadar mengabdikan dirinya hanya kepada ALLAH dengan mematuhi perintahNYA dan laranganNYa dan PeraturanNYA dan dengan demikian ia menghidupkan hukumNYA. Hal ini terkandung di ayat setelahnya
إِلَّا الَّذِييَ آَهَ ىٌُا وَعَوِلُىا الصَّالِحَاتِ وَجَىَاصَىْا بِالْحَكِّ وَجَىَاصَىْا بِالصَّبْز ِ
Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholih dan saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran” (QS. Al ‘Ashr)

2. Penyerahan diri
Allah Ta’ala adalah Pembuat perhitungan , Hakim Agung: al-dayyan. Ia adalah Raja, malik dari Hari peradilan dan pembalasan, yawm al-din yang juga disebut dengan hari perhitungan yawm al-hisab. Kenyataan bahwa Allah Ta’ala juga disebut Raja, dan segala sesuatu selainNYA adalah kerajaanNYA, dimana DIa memiliki kewenangan dan kekuasaan yang mutlak atasnya disebut malakut, menunjukkan kembali bahwa manusia adalah mamluk- NYA atau hambaNYA. Dengan demikian din dalam konteks keagamaan juga merujuk pada keadaan menjadi seorang hamba.

Dimana penghambaan ini tidak lain adalah pengembalian diri oleh manusia dengan bermakna menyerahkan dirinya untuk suatu penghambaan atau pengabdian (khidmah) kepada Allah Ta’ala. Konsep khidmah mengandung makna bahwa seseorang yang memberikkan suatu khidmah berada dalam keadaan bebas, tidak terikat melainkan sebagai tuan bagi dirinya sendiri. Sementara konsep mamluk mengandung makna kepemilikkan dari yang mendapatkan pengabdian. Mamluk dimiliki oleh Malik . Karena itu disini kita tidak mengatakkan kepada seseorang yang mengabdikan diri kepada Allah Ta’ala sebagai khadim yang bermakna pelayan, tetapi ia adalah abid kepada ALLAH dan ia kenyataannya adalah abd (hamba) Allah Ta’ala, yang dapat juga berati pelayan atau hamba, dimana istilah ini memberi pengertian “kepemilikkan” oleh DIA sebagai tujuan pengabdian. Dengan demikian dalam konteks beragama , abd adalah istilah yang tepat ditunjukkan pada seseorang yang menyatakkan keadaan berhutang yang mutlak pada Allah Ta’ala
merendahkan dirinya dalam pengabdian kepadaNYA dan seluruh perbuatan pengabdian disebut “ibadah” dan pengabdian adalah “ibadat”, yang dapat dijelaskan sebagai seluruh perbuatan yang disadari dan disengajakan sebagai penghambaan yang dilakukan semata-mata demi Allah Ta’ala dan diizinkan olehNYA.

وَهَيْ أَحْسَيُ دِي اًٌ هِوَّيْ أَسْلَنَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُىَ هُحْسِيٌ وَاجَّبَعَ هِلَّةَ إِبْزَاهِينَ حَ يٌِفًا وَاجَّخَذَ اللَّهُ إِبْزَاهِينَ خَلِيلًا
Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya. (An-Nisa: 125)

3. Kuasa Peradilan
Suatu kota atau madinah memiliki hakim , penguasa atau pemerintah yaitu dayyan. Maka dari sini, melihat berbagai penggunaan kata yang berasal dari akar kata dana, kita dapat melihat suatu gambaran dalam fikiran kita bahwa hal ini berkaitan dengan kehidupan dalam suatu peradaban, suatu kehidupan bermasyarakat yang diatur dengan hukum , peraturan , keadilan dan otoritas. Hal ini berkaitan erat secara konseptual dengan kata lain yakni maddana yang bermakna membangun atau membina kota , membangun peradaban , memunikan , memanusiakan dari kata maddana inilah lahir istilah tamaddun yang bermakna peradaban dan perbaikan budaya sosial. Konsep hukum , peraturan dan keadilan serta otoritas, juga perbaikkan sosial budaya yang terkandung dalam semua permaknaan diatas yang diperoleh dari konsep din tentu saja menuntut wujudnya suatu cara gaya atau cara berprilaku yang sesuai dengan yang dicerminkan oleh hukum, peraturan , keadilan , otoritas, dan perbaikkan budaya sosial tersebut, cara gaya atau cara berprilaku atau suatu keadaan dianggap normal apabila sesuai dengan konsep konsep diatas .

Maka keadaan normal ini adalah suatu keadaan yang menjadi kebiasaan atau adat. Dari pengertian-pengertian ini kita dapat melihat logika yang menimbulkan berbagai permaknaan dari konsep din sebagai kebiasaan , adat , pembawaan atau kecenderungan alamiah. Pada saat ini semakin jelas bagi kita bahwa konsep din dengan pengertian yang paling mendasar sesungguhnya mencerminkan suatu bukti nyata adanya kecenderungan yang bersiafat alami dari manusia untuk membentuk suatu komunitas atau masyarakat , dan taat pada hukum serta berusaha mewujudkan suatu pemerintahan yang adil.
Sistem sosial Islam meliputi seluruh aspek kehidupan baik jasmani , material, maupun spiritual manusia, dalam suatu cara yang memperlakukan individu maupun juga masyarakat secara adil juga tehadap individu sebagai mahluk jasmani dan individu sebagai ruh. Sehingga seorang muslim pada waktu yang sama adalah dirinya sendiri dan masyarakatnya, dan masyarakatnya adalah juga dirinya, karena setiap individu dalam masyarakatseperti halnya dia, berusaha untuk mencapai maksud yang sama dalam kehidupan dan untuk mencapai tujuan yang sama pula. Sistem sosial Islam adalah perwujudan kerajaan ALLAH di bumi yang dengan aturan tersebut ALLAH tetap Berdaulat sebagai Raja, dan bukan manusia , Yang Maha berkuasa dimana hukum, peraturan ,
perintah dan laranganNYA, adalah ketentuan mutlak. Manusia hanyalah wakil ALLAH atau khilafah yang diberi tanggung jawab untuk memerintah, suatu amanah, untuk memerintah dunia sesuai dengan kehendak dan ridha NYA. Ketika kita menyebut kata “memerintah”, kita tidak bermaksud hanya merujuk arti “memerintah” dalam makna sosio-politis, tetapi lebih mendalam lagi kita juga memaknainya pemerintahan seseorang terhadap dirinya sendiri, karena amanah itu merujuk kepada tanggung jawab dan kebebasan seseorang untuk berlaku adil terhadap dirinya sendiri.Tentang pernyataan terhakhir ini kita patut menjelaskannya secara terperinci disini, karena apa yang dimaksud dalam makna “memerintah” ini akan mengungkapkan prinsip-prinsip dalam etika dan moralitas (akhlak) Islam. Sekali lagi kita katakan bahwa Islam adalah suatu aturan sosial, namun dalam aturan itu setiap individu, menurut kemampuan dan kekuatannya masing-masing yag dianugerahkan oleh Allah Ta’alam, berusaha agar memenuhi dan mewujudkan tanggung jawab dan kebebasannya dan berjuang untuk mencapai dan mewujudkan maksud dan tujuan hidupnya mengikuti cara yang dijelaskan oleh hukum yang diwahyukan , yang ditaati oleh seluruh anggota masyarakat. Oleh karena itu , seperti halnya setiap muslim adalah khilafah ALLAH di bumi, demikian juga setiap muslim adalah hambaNYA , abdNYA yang berjuang untuk menyempurnakan pengabdian dan ketaatannya, ibadahnya dengan cara yang diizinkan oleh ALLAH , Penguasa Mutlaknya.

Dan oleh karena setiap individu didalam sistem sosial ini hanya bertanggung jawab kepada ALLAH , maka didalam sistem sosial itu setiap individu akan secara pribadi mengarahkan kesetiaannya sesugguhnya dan sejati yaitu fa’ah hanya kepada ALLAH, Rajanya Yang sebenarnya
هَالِكِ يَىْمِ الذِّيي ِ
Yang Menguasai pada hari pembalasan.(QS.1: 4)

4. Kecenderungan Alami
وَهَا خَلَقْثُ الْجِيَّ وَالْأِ سًَْ إِلَّا لِيَعْبُذُوى
“Tidak Aku ciptakan jin dan Manusia melainkan hanya untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz –Dzariyat: 56 )
Ketika kita mengatakan bahwa manusia ini telah memenuhi tujuan eksistensi dan penciptaan dirinya , disini sangat jelas bahwa kewajiban manusia untuk mengabdi pada Allah Ta’ala dirasakan olehnya sebagai suatu hal yang normal , karena ia datang sebagai suatu kecenderungan alami dari manusia sebagai bagian dari dirinya untuk melakukan hal tersebut. Kecenderungan alami manusia untuk mengabdi dan beribadahkepada Allah Ta’ala ini juga dirujuk sebagai din, dimana kita telah membahas dipermulaan bahwa kata tersebut memiliki keterkaitan dengan pengertian adat, kebiasaan, dan kecenderungan. Didalam konteks keagamaan permaknaan secara spesifik keadaan eksistensi alamiah yang disebut fitrah.Bahkan din juga bermakna fitrah. Fitrah adalah pola yang mendasari segala
sesuatu yang diciptakan Allah Ta’ala. Tata cara Allah Ta’ala dalam menciptakan , sunnat ALLAH dan segala sesuatu mengikuti pola yang telah dibentuk baginya dan berada dalam tempatnya ynag sewajarnya.

Ini yang disebut dengan Hukum Allah Ta’ala. Berserah diri padanya akan membawa keharmonian , karena ini berarti pengakuan atas seuatu yang benar-benar bagian dari hakikat dirinya. Mewujudkan hal yang berlawanan akan membawa pertentangan, karenaini berarti pengakuan atas sesuatu yang berlawanan dengan hakikat dirinya. Ia adalah keteraturan (cosmos) yang berlawanan dengan kekacauan (chaos);keadilan yang berlawanan dengan kedzaliman. Ketika Allah Ta’ala berfirman ‘ Bukankah Aku Tuhanmu?’, dan diri manusia sejujurnya bersaksi atas dirinya, menjawab : ‘Ya!’ dalam pengakuan atas kebenaran ketuhanan Allah, ia dengan itu secara resmi melakukan perjanjian dengan Allah Ta’ala. Dengan demikian ketika manusia terlahir didunia ini, apabila ia terbimbing dengan benar maka ia akan teringat akan perjanjian itu dan berbuat sesuai dengannya seperti yang telah dijelaskan di atas, maka ibadahnya , tindakannya, hidup dan matinya hanya untuk Allah semata. Salah satu makna dari fitrah sebgai din adalah pengakuan atas perjanjian yang dibuat oleh manusia tersebut.

B. Manusia Islam
Konsep din dengan merujuk kepada manusia Islam mengandung makna kemunculan dalam dirinya jenis manusia yang luhur yang memiliki daya dan hasrat mulia kearah perbaikkan diri (self improvement) , perbaikan nilai diri yang tidak kurang dari penjelmaan potensi dan kemampuannya yang terpendam untuk menjadi seorang insan kamil. Seorang muslim sebagai penduduk kota raya, kosmopolitan , hidup dalam kehidupan adabi menurut landasan-landasan yang jelas dari sistem sosial dan aturan moral., yaitu untuk mereka yang taat pada hukum ALLAH. Sebagai penduduk kota raya, seorang muslim juga berusaha menuju terwujudnya keadilan sejati dan mencapai ilmu yang benar, sebagai sumber-sumber nilai budi pekerti yang menuju kearah keihsanan(ihsan). Dorongan bagi tingkah laku manusia yang demikian dalah kebahagiaan abadi, yang merupakan pintu masuk kedalam suatu keadaan dimana kedamaian tertinggi yang mungkin dapat dirasakan disini. Namun hal itu akan disimpan untuk nya jika memasuki batas kota lain nanti, dan menjadi seorang penghuni dan menjadi sorang penduduk kerajaan lain tersebut dimana kebahagiaan puncaknya adalah menatap Wajah Agung Sang Raja.

Apabila Islam merupakan intisari dari sistem kosmos yang suci, maka seorang manusia Islam yang sadar akan takdirnya sebagai mahluk jasmani , menyadari bahwa dirinya juga merupakan intisari dari kosmos , suatu bayangan mikrokosmos , alam saghir dari suatu makrokosmos , al-alam al-kabir. Oleh karena itu dalam keadaan bahwa Islam seperti suatu kerajaan, sistem sosial , maka manusia islam mengetahui bahwa ia adalah sebuah kerajaan dalam bentuk miniatur. Dimana manusia merupakan jiwa sekaligus raga, ia adalah mahluk jasmani sekaligus juga ruh. Jiwanya mengatur raganya seperti halnya ALLAH mengatur alam semesta. Manusia juga mempunyai 2 jiwa yang serupa dengan sifat gandanya: yaitu yang luhur, jiwa akali, al-nafs al-natiqah dan yang rendah , jiwa hewani
atau badani al-nafs al hayawaniyyah. Didalam kerangka konseptual dari konsep dinyang digunakan disini sebagai suatu yang bersifat subjektif , pribadi dan individu . Jiwa akali manusia merupakan raja dan dengan kekuasaannya harus menekan serta mengatur dan memerintah jiwa hewani itu agar patuh dan berserah diri kepada jiwa akali. Kekuasaan dan pengaturan yang berkesan yang dijalankan jiwa akali pada jiwa hewani, dan ketundukkan serta kepasrahan total dari jiwa hewani kepada jiwa akali memang sesungguhnya dapat ditafsirkan sebagai din, atau sebagai Islam dalam makna subjektif, pribadi dan individual dalam suatu hubungan yang terbentuk. Dalam konteks ini, jiwa hewanilah yang menghambakan dirinya dalam kepasrahan dan pengabdian sehingga jiwa hewani tersebut mengembalikan dirinya kepada kekuasaan otoritas jiwa akali.
إِ وًَّا بُعِثْثُ لأُجَوِّنَ هَكَارِمَ الأَخْلاَق
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak-akhlak mulia.” (HR. Ahmad)
* Disarikan dari buku “Islam dan Sekularisme” karya Syed. Naquib Al-Attas Bab III Islam: Faham Agama dan Asas Akhlak.